Musim Depan Premier League Bakal Banyak Diisi Muridnya Pep Guardiola

Jika para manajer Liga Inggris diibaratkan komplotan seorang filosof, Josep Guardiola adalah Socrates-nya. Seumpama para pelatih tim-tim Premier League adalah pahlawan perjuangan, maka Guardiola adalah HOS Tjokroaminoto. Sebab Guardiola sudah seperti guru bagi manajer lainnya.

Musim depan, sang guru akan berhadapan langsung dengan para muridnya sendiri. Liga Inggris musim depan menjadi sangat menarik karena para kita akan menyaksikan murid-murid Guardiola berupaya mengalahkannya.

Ada Mikel Arteta, manajer Arsenal. Erik ten Hag yang berada di kubu rival. Roberto De Zerbi, murid tak langsung Guardiola yang memimpin Brighton and Hove Albion. Dan satu orang lagi yang baru saja mengantarkan timnya promosi. Ia adalah Vincent Kompany, manajer Burnley, bekas anak didik Guardiola dan mantan kapten Manchester City.

Well, bagaimana mereka belajar kepada Guardiola? Bagaimana pula Guardiola menginspirasi mereka, terutama perihal taktik? Mungkinkan para murid ini akan mengalahkan gurunya kelak di Liga Inggris musim 2023/24?

Mikel Arteta Bertemu Guardiola

Mari kita mulai dari Mikel Arteta. Murid yang satu ini hampir mengalahkan Guardiola dalam perebutan gelar Liga Inggris musim lalu. Sayangnya, inkonsistensi anak didiknya membawa petaka bagi Arteta itu sendiri. Saat Arsenal bisa memperlebar jarak dengan Manchester City, timnya justru kalah.

Arteta dan Guardiola punya hubungan mesra. Keduanya pernah bermain di Barcelona. Namun, waktu itu, kondisinya Arteta adalah pemain muda, sedangkan Guardiola sudah senior. Arteta masih seorang pemain kala Guardiola sudah menjadi pelatih Bayern Munchen.

Keduanya bertemu kala Arsenal mengalahkan Bayern Munchen 2-0 di Liga Champions musim 2015/16. Pada waktu itu, Guardiola bilang ke Arteta, jika bekerja di Inggris, ia ingin bekerja sama dengan Arteta. Setelah Arteta pensiun sebagai pesepakbola tahun 2016, ia lekas menelepon Guardiola.

Arteta menanyakan apakah Guardiola, yang saat itu mulai melatih Manchester City, masih bersedia bekerja sama dengannya. Benar saja, ia pun menjadi asisten Guardiola di Manchester City. Tugasnya membantu para pemain untuk menjelaskan detail konsep yang dimau Guardiola.

Sebagai manajer utama, Guardiola tidak punya banyak waktu untuk berbincang secara mendalam dengan para pemain City. Arteta pun mengambil peran itu. Perannya tersebut membuatnya bisa sekalian belajar, terutama bagaimana taktik dan manajemen yang digunakan Guardiola.

Hasilnya di Arsenal

Arteta pun bisa memahami secara rinci taktik Guardiola. Manajer peraih sextuple itu tidak pernah stagnan soal taktik. Setidaknya, itulah yang dikatakan Arteta seperti dikutip The Guardian. Menurut Arteta, permainan yang diterapkan Guardiola benar-benar fleksibel.

Akan ada perubahan ketika sudah berada di atas lapangan. Perubahan itu bergantung pada lawan. Mendampingi Guardiola kurang lebih tiga tahun, Arteta memenangkan tiga gelar; dua Liga Inggris dan satu Piala FA.

Setelah tidak menjadi asisten Guardiola, Arteta mengambil karier solonya di Arsenal tahun 2019. Saat melatih, Arteta menerapkan betul yang dipelajarinya dari Guardiola. Salah satunya pemanfaatan bek sayap untuk penguasaan bola dan menyerang lebih efektif. Musim ini hampir membuahkan gelar Liga Inggris.

Selama melatih, Arteta kesulitan untuk mengalahkan Guardiola. Bukan hanya soal trofi. Sepuluh kali Arteta bertemu Guardiola sebagai manajer, namun ia cuma bisa memenangkannya sekali. Sementara sembilan laga sisanya Arteta kalah.

Erik ten Hag di Bayern Munchen

Lain ceritanya dengan Erik ten Hag. Awal tahun 2009, Ten Hag yang masih menjadi asisten pelatih di FC Twente mendapat tawaran dari Federasi Sepak bola Jerman untuk melatih tim U-21. Namun, Ten Hag tidak mengambil pekerjaan itu. Ia justru memilih jadi asisten pelatih, kali ini di PSV Eindhoven. 

Selama tiga tahun, Ten Hag menjadi asisten Fred Rutten di sana. Tahun 2012, tim Eerste Divisie atau liga dua Belanda, Go Ahead Eagles membutuhkan manajer baru dan Ten Hag menerima tawaran itu. Musim pertamanya, Ten Hag langsung membawa tim itu promosi ke Eredivisie.

Sejak saat itu, nama Ten Hag di Belanda makin semerbak. Dikutip The Athletic, ia beberapa kali mendapat tawaran besar di Belanda. Namun, Ten Hag menolaknya dan memilih untuk mengambil alih Bayern II yang berada di divisi empat Liga Jerman. Langkah tersebut membantunya melesat lebih cepat.

Sebab di sanalah Ten Hag bertemu Guardiola. Ia melatih Bayern II tahun 2013, sedangkan di tahun itu, Guardiola masih menjadi manajer utama Bayern Munchen. Di sanalah ia bisa belajar dengan Guardiola dari jarak dekat. Guardiola membangun fondasi baru warisan Louis Van Gaal dan Jupp Heynckes, sedangkan Ten Hag mewarisi tim B besutan Mehmet Scholl.

Ten Hag Mengalahkan Guardiola

Ten Hag sedikit banyak mengadopsi filosofi yang diterapkan Guardiola. Keduanya sama-sama penyuka 4-3-3 yang berorientasi pada “penguasaan bola”. Namun Ten Hag lebih mementingkan kolektivitas. Hal yang tidak dilakukan Guardiola di Bayern Munchen, yang mana ia melatih secara spesifik kemampuan individu. Ten Hag juga sangat terobsesi pada akurasi teknis.

Dalam latihan, Ten Hag meminta pemainnya untuk melakukan umpan-umpan sederhana terus-menerus sampai bersih tidak ada cacat. Namun, sekali lagi, soal permainan, membangun serangan, transisi, sampai metode latihan sejatinya tidak jauh berbeda dari Pep.

Ten Hag kemudian menyulam kariernya sendiri. Di Bayern II, ia memenangkan divisi empat dengan remaja Pierre-Emile Hojbjerg. Suatu hari, Ten Hag bertemu lagi dengan Pep tapi sebagai rival manajer, yakni ketika menukangi Manchester United.

Musim ini, Ten Hag dan Pep bertemu tiga kali. Ten Hag berhasil mencuri satu kemenangan. Sementara Guardiola memenangkan dua laga sisanya, termasuk di final Piala FA.

Roberto De Zerbi

Berbeda dengan dua nama sebelumnya, Roberto De Zerbi tidak pernah satu tim dengan Guardiola. Namun, ia boleh dibilang adalah murid tak langsung manajer Manchester City itu. De Zerbi adalah pengagum berat Guardiola. Makanya, mantan manajer Sassuolo itu pun memiliki gaya bermain yang tidak jauh berbeda dengan Guardiola.

Meski tak pernah bermain bersama atau berada dalam satu tim, Guardiola dan De Zerbi merupakan mantan pemain Brescia. Meski keduanya bermain di era yang berbeda. Hubungan keduanya juga terjalin sangat akrab. Sebelum melatih Brighton, De Zerbi pernah kedapatan makan malam dengan Guardiola.

De Zerbi sangat menyukai filosofi penguasaan bola Guardiola. Menurutnya, itulah satu-satunya jalan terbaik untuk meraih kesuksesan. De Zerbi sangat menghormati Guardiola. Rasa hormat itu juga dibalas oleh eks pelatih Barcelona itu. Ketika De Zerbi masih melatih Sassuolo, jika waktu mengizinkan, Guardiola menonton.

Pun ketika De Zerbi melatih Shakhtar Donetsk. Taktik De Zerbi dengan memainkan dua bek sayap menyempit dengan gelandang tengah di depan dua bek tengah ditiru Guardiola. Akan tetapi dengan varian yang berbeda di Manchester City. Ketika De Zerbi melatih Brighton, Guardiola juga memujinya.

Guardiola pernah mengatakan, Brighton di tangan De Zerbi adalah tim dengan build-up terbaik di Liga Inggris. Dua kali The Citizens asuhan Pep bertemu Brighton asuhan De Zerbi. Namun, Pep hanya menang sekali. Laga lainnya berakhir imbang.

Vincent Kompany dan Burnley

Terakhir adalah Vincent Kompany. Ia pernah menjadi murid Guardiola selama tiga tahun berseragam Manchester City. Selama tiga tahun itu ia memenangkan Piala Liga, Community Shield, Piala FA, dan Liga Inggris. Guardiola telah memberikan banyak tips bagi Kompany, terutama perihal taktik dan manajemen.

Dilansir The42, Kompany mengatakan, Guardiola termasuk manajer yang tidak pelit ilmu. Menurutnya, bekerja dengan Pep seperti dikuliahi. Guardiola menjelaskan taktiknya dengan sangat jelas. Kariernya untuk menjadi pelatih pun berkat motivasi dari Guardiola.

Musim lalu, Kompany membuktikan bahwa ia adalah murid Pep yang baik. Setelah kurang sukses menukangi Anderlecht, karier kepelatihan Kompany justru melesat ketika menukangi tim Championship, Burnley. Di klub berjuluk The Clarets itu, Kompany mengimplementasikan gaya permainan bebas mengalir seperti Guardiola di Manchester City.

Taktik 4-3-3 atau 4-2-3-1 milik Kompany juga secara penerapan tidak jauh berbeda dengan Guardiola. Kompany menyulap Burnley sebagai tim yang hobi membangun serangan dari bawah. Tim yang tidak takut melakukan tekanan tinggi. Dan yang paling penting, tentu saja penguasaan bola.

Wajar jika Burnley di musim 2022/23 mempunyai rata-rata 65% penguasaan bola. Musim itu pula Burnley menjuarai EFL Championship dengan mengumpulkan 101 poin. Hal yang juga pernah dilakukan Guardiola ketika mengantarkan City juara Liga Inggris di musim 2017/18 dengan 100 poin.

Sayangnya, Kompany masih kalah dari Pep. Saat Burnley bertemu Manchester City di Piala FA, mereka dicukur 6-0. Sebuah rekor yang memalukan. Akhirul kalam, di Liga Inggris musim depan, kira-kira siapa murid yang bakal mengalahkan Pep Guardiola lebih dulu?

Sumber: SkySports, TheAthletic1, SN, TheAthletic2, TheGuardian, The42, ManCity, TFA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *