
Raihan treble Manchester City memperlihatkan bahwa pepatah uang bisa membeli kesuksesan itu benar belaka. Zaman sekarang, klub akan sulit bersaing kalau tidak punya uang. Seumpama ingin juara, meraih trofi yang tidak sedikit, maka klub itu harus mengeluarkan uang yang tidak sedikit pula.
Tanpa uang, klub sama sekali tak kompetitif, kurang menggigit, dan prestasinya begitu-begitu saja. Sayangnya, kredo tersebut hanya bekerja di Manchester City, tidak dengan Paris Saint-Germain. Klub asal Kota Paris itu juga sebenarnya kaya. Jika Manchester City dikuasai taipan Abu Dhabi, PSG dikuasai konglomerat dari Qatar.
Namun, PSG masih kalah sukses dari Manchester City. Les Parisiens belum sanggup meraih gelar Liga Champions, sedangkan Manchester City sudah menyabetnya. Bahkan menghasilkan treble. Pertanyaannya, mengapa bisa seperti itu?
Sama-Sama Kuat Secara Finansial
Bos Manchester City dan presiden Paris Saint-Germain adalah dua manusia yang bergelimang harta. Menurut laporan Goal, seperti dikutip Give Me Sport, pemilik PSG, Nasser Al-Khelaifi sedikitnya mempunyai total kekayaan 6,3 miliar poundsterling atau sekitar Rp120 triliun per Mei 2023.
Sementara, menurut laporan The Sun, pemilik Manchester City, Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan memiliki kekayaan lebih banyak dari Nasser, yaitu 17 miliar poundsterling atau kalau dirupiahkan sekira Rp324,1 triliun.
Baik Manchester City maupun PSG juga punya total nilai skuad yang sangat tinggi. Mengutip data dari Transfermarkt, total nilai skuad PSG mencapai 882,55 juta euro atau setara Rp14,4 triliun. Sedangkan Manchester City 1,09 miliar euro atau Rp17,8 triliun.
Nasser Al-Khelaifi or Sheikh Mansour who will win the match? π€ pic.twitter.com/MbQtKg8unf
β Luar Jakarta (@LuarJakarta_) April 28, 2021
Kedua tim ini juga masuk dalam jajaran 10 tim dengan pengeluaran transfer tertinggi selama lima musim terakhir. PSG menempati posisi tujuh dengan total pengeluaran transfernya menyentuh 658 juta euro (Rp10,8 triliun). Kalau The Citizens berada di posisi lima dengan total mengeluarkan 708 juta euro (Rp11,6 triliun) untuk transfer.
Memang, dari data-data tadi menunjukkan bahwa Manchester City lebih digdaya soal finansial daripada Les Parisiens. Namun, itu tidak menutup fakta bahwa kedua tim ini kekayaannya hampir sepadan. Sayangnya, PSG tidak maksimal dalam memanfaatkan kekayaan itu.
Manchester City Cepat, PSG Tidak
Kendati demikian, baik PSG maupun Manchester City sama-sama telah membuktikan keperkasaanya di liga domestik. Dalam enam musim terakhir, Les Parisiens berhasil menjadi juara Ligue 1 sebanyak lima kali, persis seperti Manchester City.
Lalu di kompetisi domestik, dalam lima musim terakhir, Manchester City sukses menyabet dua kali gelar Piala FA. Begitu pula PSG. Les Parisiens sudah dua kali meraih gelar Coupe de France dalam lima musim terakhir.
2021 : Le PSG remporte le TdC contre l’OM 2-1 et remporte aussi sa 14e et derniΓ¨re Coupe de France en date contre Monaco, victoire 2-0 pic.twitter.com/Af97cqwn5l
β Histoire du #PSG (@Histoire_du_PSG) August 12, 2022
Namun, kalau melihat perjalanan keduanya di kompetisi domestik, Piala FA maupun Coupe de France, PSG tidak konsisten. Dalam lima musim terakhir, Les Parisiens memang meraih dua gelar, tapi dalam dua musim terakhir mereka hanya bisa sampai di fase 16 besar.
Sementara, dalam lima musim terakhir, City selalu sampai ke partai semifinal. Di Liga Champions pencapaian PSG juga sangat timpang dibandingkan City. Bukan hanya karena City sudah meraih gelar juara, tapi dalam enam musim terakhir saja PSG kerap terhenti di babak 16 besar.
Nah, The Citizens sejak musim 2017/18 selalu sampai ke babak perempat final Liga Champions. Ini membuktikan, meski dengan kekuatan finansial yang besar, Manchester City dan PSG punya hasil yang berbeda.
Manchester City have now won 20 trophies since the Sheikh Mansour takeover in 2008:
β 7x Premier League
β 6x League Cup
β 3x FA Cup
β 3x Community Shield
β 1x Champions League πThis is the one they were waiting for. π#UCLfinal pic.twitter.com/x9xyB1BsUy
β Squawka Live (@Squawka_Live) June 10, 2023
Pendekatan City Lebih Jelas
Hasil yang berbeda itu berkaitan dengan cara atau pendekatan dari kedua tim yang berbeda. Bisa dikatakan apa yang dilakukan Manchester City lebih jelas daripada PSG. Setelah mengakuisisi Manchester City, Sheikh Mansour punya rencana jangka panjang dengan tujuan meraih setiap trofi yang ada. Demi mencapai tujuannya itu, ia melihat proyek yang diterapkan Barcelona.
Ia merasa cocok dengan apa yang dilakukan Barcelona. Tim tersebut cukup sukses pada saat itu. Sheikh Mansour makin yakin dengan cetak biru yang dipakai Barcelona setelah tim itu sukses meraih sextuple dan menjadi tim pertama yang melakukannya.
Pada tahun 2012 pun, City Football Group yang menguasai Manchester City, βmencuriβ otak kesuksesan Barcelona. City mendatangkan Ferran Soriano yang pernah menjadi wakil presiden Joan Laporta selama lima tahun.
The Citizens juga mendatangkan Txiki Begiristain, direktur olahraga yang bekerja di Barcelona dari 2003 hingga 2010. Puncaknya, pada tahun 2016, Manchester City merekrut Josep Guardiola, pelatih peraih sextuple bersama Barcelona. Txiki Begiristain, Ferran Soriano, dan Josep Guardiola adalah perpaduan maut yang akhirnya mengantarkan City meraih treble bersejarah.
Pep Guardiola, Sheikh Mansour, Khaldoon Al Mubarak, Txiki Begiristain, and Ferran Soriano with the Premier League, FA Cup, and Champions League trophies. πππ π¦πͺ#ManCity pic.twitter.com/EcxpESvftB
β City Parrot (@ManCityParrot) June 14, 2023
Proyek PSG Tak Jelas
Sementara itu, PSG memang menunjuk Direktur Olahraga Leonardo Araujo tahun 2011. Ia adalah mantan manajer Inter dan AC Milan. Pernah juga menjadi direktur teknik AC Milan. Namun, PSG seolah tak punya rencana yang jelas. Buktinya, tahun 2013 Leonardo justru dipecat.
Lalu pada tahun 2019, PSG mempekerjakan Leonardo lagi sebagai direktur olahraga. Kemudian dipecat lagi dan digantikan Luis Campos. Kemampuan manajemen Leonardo maupun Campos sebenarnya tidak buruk. Namun, karena tak punya proyek pasti sebagaimana Manchester City yang mengadopsi cara Barcelona, PSG akhirnya kerap gonta-ganti pelatih.
Manchester City juga demikian. Tapi karena rencananya jelas dan bertahap, setiap pelatih yang didatangkan sering nyetel. Nah, PSG acap kali memecat pelatih sembarangan. Carlo Ancelotti yang memberi gelar Ligue 1 yang 19 tahun tak pernah diraih saja dipecat. Sebelumnya Antoine Kombouare juga dipecat.
2018: Unai Emery leaves PSG π
2020: Thomas Tuchel sacked by PSG π2021: ππ pic.twitter.com/9cz7PiMoX5
β GOAL (@goal) May 30, 2021
Laurent Blanc yang cukup sukses tapi tidak mampu di Liga Champions juga dipecat. Unai Emery yang jago di kompetisi Eropa pun didepak PSG. Mauricio Pochettino yang pernah membawa Tottenham ke final Liga Champions juga dipecat. Apalagi Christophe Galtier. Total ada tujuh pelatih yang dipecat PSG sejak 2011.
Sementara Manchester City selama diakuisisi Sheikh Mansour hanya dilatih empat manajer utama: Mark Hughes, Roberto Mancini, Manuel Pellegrini, dan Josep Guardiola. City juga tidak memecat Guardiola saat gagal di final Liga Champions 2021. Hal yang tidak dilakukan PSG terhadap Thomas Tuchel.
Pembelian Pemain yang, Ah Sudahlahβ¦
Wajar kalau City tidak memecat Guardiola saat gagal di final. Sebab Guardiola adalah target mereka sejak lama. Okelah, mari lanjut pembahasannya ke soal pemain. Kedua tim tak bisa ditampik bahwa aktif membeli pemain berbanderol mahal.
Ingat bagaimana PSG membayar pemain Barcelona, Neymar dengan banderol 222 juta euro (Rp3,6 triliun) ? PSG juga membeli Kylian Mbappe dari AS Monaco dengan mahar sampai 135 juta euro (Rp2,2 triliun). PSG juga membeli Lionel Messi. Sebelumnya ada Edinson Cavani, Marquinhos, Angel Di Maria, Ibrahimovic, Verratti, Lucas Moura, Lavezzi, dan masih banyak lagi.
On this day in 2017, PSG signed Neymar from Barcelona for β¬222M/$264M, making him the most expensive transfer ever π€ pic.twitter.com/uUz7mhyYxF
β B/R Football (@brfootball) August 3, 2021
Masalahnya, PSG membeli pemain mahal tapi tidak mempertimbangkan situasi jangka panjang. Manchester City mempertimbangkan itu. Bahkan tidak hanya untuk solusi jangka panjang, dalam merekrut pemain, City lebih mempertimbangkan kebutuhan manajer.
City tidak membutuhkan pemain dengan nama besar, meskipun mereka juga pernah mendatangkannya. Yang dilakukan City membeli pemain sesuai kebutuhan, namun dibayar dengan nominal yang mencekik leher. Misalnya, Bernardo Silva yang dibeli 50 juta euro (Rp819 miliar). Padahal waktu itu Bernardo bukan pemain bintang.
Kevin de Bruyne yang disia-siakan Chelsea dan βhanyaβ bermain di Wolfsburg bahkan dibeli Manchester City dengan banderol 76 juta euro (Rp1,2 triliun). Padahal De Bruyne walau tampil apik, bukan pemain bintang waktu itu.
Manchester City’s bench today cost them over β¬500m π€―
Ederson: β¬40m
Ruben Dias: β¬71.6m
John Stones: β¬55.6m
Ilkay Gundogan: β¬27m
Erling Haaland: β¬60m
Jack Grealish: β¬117.5m
Rodri: β¬70m
Kevin De Bruyne: β¬76m
Bernardo Silva: β¬50m pic.twitter.com/EAqgoFJ20Xβ Jason (@DramatizeMeTV) May 22, 2023
Tapi baik Bernardo maupun De Bruyne adalah pemain yang dibutuhkan Manchester City. Keduanya berperan penting, seperti halnya dalam meraih trigelar. Minimnya pemain berlabel bintang yang bersarang di Manchester City, membuat pelatih mudah untuk mengaturnya.
Nah, hal inilah yang gagal di PSG. Banyaknya pemain bintang, tim menjadi sulit diatur. Maka benar saja kalau pada akhirnya, Manchester City menjadi lebih sukses daripada Paris Saint-Germain.
Sumber: Chaseyoursport, Goal, Eurosport, Khelnow, RT, Transfermarkt